Minggu, 01 November 2009

Pentingnya TIK dalam Pelestarian Budaya
Pentingnya TIK dalam Pelestarian Budaya
Yogyakarta, RajaAlihaji.comPenggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam pelestarian dan pengembangan pengetahuan lokal (indigenous knowledge) sebagai salah satu aset bangsa, perlu dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan ketahanan budaya, termasuk budaya Melayu, supaya tidak terlindas oleh derasnya arus globalisasi yang membawa berbagai macam pengaruh dan dampak bagi kehidupan masyarakat. Untuk itu, perlu adanya komitmen bersama dari seluruh komponen bangsa untuk tetap melaksanakan pelestarian ini dalam rangka memperkokoh warisan budaya bangsa.


Hal tersebut mengemuka dalam diskusi bulanan Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM) bersama Prof. Dr. Ding Choo Ming, ahli budaya Melayu pada Institute of Malay World and Civilization, National University of Malaysia, yang mengangkat tema “The Role of ICT in Preserving and Disseminating Indigenous Knowledge”, Sabtu (09/08/08), di ruang seminar BKPBM. Sebagai pembahas, turut hadir Dr. Aris Arif Mundayat (Antropolog Universitas Gadjah Mada) dan Mardhani Riasetiawan, SE., M.Ak (pakar TIK UGM). Hadir pula para tokoh masyarakat, akademisi, peneliti budaya, aktivis pelestarian budaya, serta mahasiswa dari perguruan tinggi se-Yogyakarta. Di antara para akademisi dan peneliti budaya tersebut adalah: Prof. Dr. Suhardi, Dr. Kun Zachrun Istanti, Drs. Aprinus Salam, M.Hum., Dr. Ida Rochani Adi, SU. (Dosen-dosen pada Fakultas Ilmu Budaya UGM), serta Imam Qalyubi, M.Hum.  (Dosen linguistik pada STAIN Palangkaraya).
Kegiatan diskusi diawali dengan sambutan Nursaed Ali Ridho, MA. Pimpinan Redaksi MelayuOnline.com, mewakili pendiri dan pemimpin umum BKPBM, Mahyudin Al Mudra, SH.MM., yang sedang shooting acara e-Lifestyle Metro TV di Jakarta.



Dalam acara yang dipandu oleh Irfan Afifi, S.Fil., Redaktur MelayuOnline.com ini, Ding Choo Ming mengatakan bahwa kajian budaya lewat TIK, dalam hal ini budaya Melayu, harus dilihat dalam konteks pelestarian budaya maupun implementasinya. Lembaga kebudayaan maupun institusi pemerintah berkewajiban untuk terus menggalakkan pelestarian dan pengembangan budaya lewat teknologi tersebut. Herannya, ketika Ding Choo Ming mengajukan proposal ke Pemerintah Malaysia guna mengembangkan dan melestarikan budaya Melayu lewat ATMA (Alam Tamadun Melayu), jawaban yang diterima adalah janji semata. Mendengar ujaran ini, sontak para peserta diskusi tertawa. Bahkan salah seorang peserta nyletuk, ternyata Pemerintah Malaysia tidak ada bedanya dengan Pemerintah Indonesia.
Ding Choo Ming juga menjelaskan, banyak definisi tentang budaya Melayu yang dikemukakan oleh pakar asing, seperti Thomas S. Raffles (Inggris) dan Snouck Hurgronje (Belanda), yang mengacu pada pengertian kebudayaan secara umum, di mana kebudayaan merupakan hasil karya manusia yang diciptakan guna mempertahankan kelangsungan kehidupan manusia. Wujud kebudayaan itu, jelas Ding Choo Ming, dapat berupa bahasa Melayu, kesenian Melayu, struktur masyarakat Melayu, serta nilai-nilai yang digunakan sebagai acuan dalam bertindak dan bertingkah laku dalam budaya Melayu. Namun, definisi tersebut belum memberikan pemahaman tentang bagaimana memajukan masyarakat maupun kebudayaan Melayu.


Berdasarkan penjelasan tersebut, Ding Choo Ming yang selalu memuji langkah Mahyudin Al Mudra dengan MelayuOnline-nya menambahkan, masyarakat dan kebudayaan dapat diibaratkan seperti dua sisi mata uang, yang merupakan satu kesatuan utuh. Pembinaan terhadap masyarakat sekaligus juga harus diiringi dengan pembinaan terhadap budayanya, sehingga kemajuan suatu masyarakat juga selaras dengan kemajuan budayanya. Di sinilah, menurut Ding Choo Ming, letak pentingnya penggunaan TIK dalam pelestarian budaya, khususnya budaya Melayu.
Menanggapi presentasi Ding Choo Ming, Mardhani Riasetiawan, yang merupakan pembahas pertama, memaparkan bahwa peran TIK turut mempercepat dan memudahkan penyebaran informasi kebudayaan. Mardhani mencontohkan, keberadaan MelayuOnline.com, WisataMelayu.com, dan RajaAliHaji.com merupakan terobosan penting dalam pelestarian budaya yang menggunakan teknologi secara efektif. Namun, dosen UGM ini menambahkan, rubrik-rubrik yang ada di tiga portal (pangkalan data) tersebut masih terkesan akademis dan kurang menampakkan sisi pergaulan dunia maya, misalnya rubrik khusus yang menggunakan bahasa gaul atau ikon yang menggambarkan mimik wajah. Padahal, penggunaan ikon seperti itulah yang menguasai dunia maya sekarang.
Lebih lanjut, menurut Mardhani, pesatnya perkembangan TIK yang menghilangkan batasan-batasan demografi semakin mempercepat proses penyebaran pengetahuan dan budaya. Dengan mengutip ramalan Alvin Toffler, Mardhani menjelaskan, “evolusi ini pun berubah dari sumber daya alam (natural resources) menuju pengetahuan (knowledge), di mana penggunaan teknologi semakin intensif.” Kutipan Mardhani ini berkaitan dengan dua latar belakang yang mengantarkan perkembangan gelombang ketiga, yaitu globalisasi dan teknologi informasi. “Jadi, jika di masa revolusi industri kemakmuran diciptakan melalui penggunaan mesin untuk menggantikan tenaga kerja manusia, maka di era teknologi informasi banyak orang menghubungkan indigeneous knowledge dengan perangkat berteknologi tinggi seperti internet,” paparnya.
Sementara itu, Aris Arif Mundayat, yang merupakan pembahas terakhir mengatakan, kemunculan wacana pengetahuan lokal (indigeneous knowledge) adalah sebuah tema humaniora yang diajukan untuk memulihkan peradaban dari krisis modernitas. “Ia diunggulkan sebagai ‘pengetahuan‘ yang ‘benar‘ berhadapan dengan standar ‘saintisme‘ modern, yaitu semua pengetahuan yang diperoleh dengan pendekatan positivisme,” ujarnya. Sains modern, menurut Aris, dianggap memanipulasi alam dan kebudayaan dengan mengobyektifkan semua segi kehidupan alamiah dan batiniah dengan akibat hilangnya unsur ‘nilai‘ dan ‘moralitas‘. Sains modern menganggap unsur ‘nilai‘ dan ‘moralitas‘ tidak lagi relevan untuk memahami ilmu pengetahuan. Bagi sains, hanya fakta-fakta yang dapat diukurlah yang boleh dijadikan dasar penyusunan pengetahuan. “Itulah prinsip positivisme”, ujar Antropolog muda dari UGM ini.
Karena itu, kehadiran diskursus pengetahuan lokal merupakan tandingan untuk mengembalikan ‘nilai‘ dan ‘moralitas‘ sebagai pokok pengetahuan. Yang khas dari pandangan pengetahuan lokal, menurut Direktur Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) UGM ini, yaitu nilai dan moralitas tidak dicari melalui deduksi etika, misalnya dengan memeriksa asumsi suatu ajaran tentang ‘yang baik‘ dan ‘yang buruk‘, ‘larangan‘ dan ‘anjuran‘. Namun, pengetahuan lokal sebagaimana juga dijelaskan oleh Ding Choo Ming, mendasarkan kebenaran pengetahuannya pada ajaran-ajaran tradisional yang sudah jadi, seperti ajaran budaya Melayu, dan hampir tidak mempersoalkan lagi kandungan politik ajaran-ajaran tradisional itu.
Mengakhiri pembahasannya, Aris mengatakan bahwa seiring dengan upaya menyatukan budaya atau berbagi (share) budaya Melayu lewat jaringan internet seperti yang dilakukan MelayuOnline.com di Indonesia dan ATMA (MalayCivilization.com) di Malaysia, diharapkan nantinya muncul sebuah paradigma yang memandang kebudayaan Melayu dengan cara berpikir Melayu. Sayangnya, Mas Aris, begitu ia biasa disapa, tidak menjelaskan lebih lanjut bagaimana cara berpikir orang Melayu itu.

Kemudian, acara diskusi dilanjutkan dengan sesi pertanyaan, di mana ada lima penanya yang turut meramaikan acara diskusi tersebut. Ketika acara diskusi berakhir, BKPBM juga sempat memberikan cenderahati kepada tiga pembicara berupa buku-buku bertema budaya Melayu terbitan BKPBM.
(TH/brt/01/08-08)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar